Sabtu, 20 April 2013

SUKSES.....!

Oleh :Muhammad Hadidi (Kabid. Organisasi IPPELMAS MALANG)

  Kebanyakan orang, secara wajar, mengalokasikan umur untuk mencapai standar-standar kesuksesan yang juga masuk akal, dengan peta-peta masa depan yang telah ditetapkan oleh masyarakat dan terukur. Sebagian orang bersekolah tinggi hingga mendapat pekerjaan yang layak, menunjukkan loyalitas kerja hingga mendapat kedudukan, dan mempertahankan integritas profesional, 
  
  Sehingga menjadi aset unggul bagi institusi tempatnya bekerja, sambil tentu saja: mendapat status sosial yang terpandang.Yang lainnya lagi bersekolah secukupnya, bekerja untuk mendapatkan modal, membuka usaha kecil-kecilan, membangun kepercayaan, dan memperluas jaringan bisnis, sehingga mendapatkan keuntungan yang dapat diputar kembali dan berguna bagi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat, dan tidak mungkin ketinggalan: rekening banknya sendiri. Atau, menyiapkan diri untuk menikah, mempunyai anak, membesarkan anak untuk turut andil membentuk generasi masa depan yang berkualitas, sambil tentu saja: memastikan terjaminnya masa tua dirinya sendiri.

Kebanyakan orang tampaknya memang biasa meretas kesuksesan dengan memperlakukan masa depan, seperti puncak tertinggi dari sebuah gunung yang mesti didaki.

Tetapi, tidak semua seperti yang tersebut di atas. Saya mengenal seorang perempuan biasa. Ia lulus dengan angka terbaik dari salah satu perguruan tinggi negeri di kota. Penampilannya khas dengan rancangan aksentuasi jilbab yang rapat, tetapi menggaya. Ia adalah kawan setia tempat semua sahabatnya dapat mempercayakan rahasia dan menemukan senyum. Tetapi, ia tidak pernah tampak berusaha memetakan kesuksesannya dalam masyarakat.

Mungkin, ada petikan hikmah An-Nifari yang terselip di agendanya, "Letakkan kekuranganmu di bawah telapak kakimu, dan letakkan kebaikanmu di bawah kekuranganmu." Perempuan ini ingat dengan buku catatannya yang sering tidak lengkap. Sisir kesayangannya yang harus dicarinya setiap pagi. Adik kesayangannya yang meninggal mendadak dan pernikahannya yang harus berakhir. Kebaikan dan kesuksesannya pun terlupa di bawah kekurangannya.

Tetapi, kekurangan biasanya justru semakin menjadi persoalan jika diletakkan di pangkuan. Maka, tidak ada yang paling penting dalam hidupnya, selain untuk tertawa, melihat semuanya tertawa, membuat orang lain tertawa, hingga menertawakan dirinya sendiri, sehingga kekurangan menjadi pelajaran dan kehilangan racunnya untuk menyedihkan hati. Jika pusing dengan persoalan sisir hilang sampai suami hilang, kalimatnya sering diakhiri dengan berkata, "Ah, Allah memang suka bercanda ...."

Saya mendengar kabar terakhirnya bahwa ia pergi meninggalkan kursi empuk ruang kerjanya di Jakarta untuk sekolah di Negeri Paman Sam yang jauh, hanya dengan modal kasih sayangnya kepada kedua anaknya dan keberanian untuk hidup. Sayup-sayup terdengar kabar ia kemudian menikah lagi dengan seorang Indonesia di sana. Tetapi, ia resmi hilang di balik benua. Hingga suatu hari, saya menerima kalimatnya melalui internet, "Di sini mungkin saya bukan siapa-siapa, tetapi saya mensyukuri setiap detik yang saya lewati. Ketika menerima semuanya, ya semuanya, saya merasa bahwa bukan di atas kursi empuk perkantoran, tetapi di depan cangkir minuman yang saya buat untuk keluargalah, saya sukses."

Mungkin tidak salah ketika Moore atau Jung mengatakan bahwa kekurangan, perpisahan, perceraian, dan semua pengalaman yang menyakitkan, jika disikapi secara benar, menjadi sebuah keharusan misterius untuk menemukan kesuksesan yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar