Oleh
Muhammad Hadidi
Kabid. Organisasi Ippelmas Malang
|
Adid al- Mukri ( nama pena dari Muhmmad Hadidi) |
Suatu saat, ketika saya
kelas dua atau tiga Sekolah Dasar, saya sangat kagum kepada laki-laki muda di
kampung saya. Laki-laki ini pandai berceramah. Hampir setiap Jum'at, sebelum
khutbah dimulai, ia selalu memberikan pengajian kepada para jamaah. Tak hanya
itu saja, ia banyak sekali terlibat dengan kegiatan desa saya. Yang jelas, ia
sangat dibutuhkan warga dalam banyak aktifitas di kampung.
Karena
kagumnya, diam-diam saya menanyakan perihal dia kepada nenek saya yang tidak
pernah sekolah. Kenapa dia bisa begitu? Nenek saya dengan polos menjawab, "Dia
bisa begitu karena dia punya ilmu."
Ilmu? Saya masih penasaran. Sehingga
saya bertanya untuk yang kedua kalinya. Kenapa ia berilmu? Nenek saya kembali
menjawab, "Sebab ia sekolah tinggi di kota."
Perjalanan selanjutnya,
ketika saya makin besar, dan makin banyak mendapat pelajaran, baik di SD maupun
di SLTP, saya makin kagum saja kepada sosok-sosok orang yang berilmu. Dan yang
paling saya kagumi pada waktu belasan tahun adalah sosok mahasiswa. Yang ada
dalam benak saya waktu itu adalah, bahwa mahasiswa adalah generasi muda yang
bersemangat, penuh dedikasi, enerjik, pinter dan sudah barang tentu berilmu.
Sebab mereka digodok di sebuah tempat yang bernama universitas. Bagi saya waktu
itu, universitas adalah gudangnya ilmu.
Dan saya makin tertarik dengan
mahasiswa ketika guru-guru sejarah saya sering memberikan pelajaran tentang
sejarah bangsa Indonesia. Kami dikenalkan dengan sosok Wahidin Sudiro Husodo,
yang waktu itu masih jadi mahasiswa Stovia, Jakarta. Yang dengan semangatnya,
dia dan kawan-kawannya bisa menghimpun banyak pemuda, dan lahirlah Sumpah
Pemuda, yang bisa mengikat komponen bangsa untuk bersatu, di bawah bayang-bayang
penjajahan Belanda.
Kemudian Bung Hatta dan Sutan Syahrir, dengan
kumpulan Pelajar Indonesia-nya di negeri Belanda, memberi obor semangat kepada
pemuda lain, untuk lepas dari kungkungan penjajah. Dan dengan
pemikiran-pemikirannya memberi kontribusi besar dalam rangka kelahiran sebuah
negeri bernama Indonesia.
Selanjutnya Adam Malik dan kawan-kawan, dengan
semangat membara, mendorong agar kaum tua seperti Sukarno dan lainnya
cepat-cepat memproklamirkan kemerdekaan, selepas Hiroshima dan Nagasaki dibom.
Jangan tunggu waktu lebih lama lagi, katanya. Karena semangatnya aksi penculikan
pun terjadi. Ingat kasus Rengasdengklok? Dan atas dorongan sosok-sosok muda itu,
proklamasi dibacakan, di Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Lantas, ketika
pemerintahan Bung Karno sedang tidak menentu, karena situasi politik memanas di
tahun 1966, sosok-sosok mahasiswa, seperti Arif Rahman Hakim, Cosmas Batubara,
Abdul Gafur, tampil kedepan memberikan semangat kepada rakyat agar melaksanakan
Tritura yang terkenal itu. Dan lahirlah orde baru.
Tak hanya itu, ketika
di tahun 1974, pemerintahan orde baru memberikan kebijakan yang kurang sesuai
dengan kebanyakan rakyat, Hariman Siregar dan kawan-kawan juga turun ke jalan.
Dan meletuslah peristiwa Malari itu.
Dan masih ada dalam ingatan kita,
beberapa tahun lalu, tepatnya 1998, kita menyaksikan bagaimana peranan mahasiswa
mendobrak kebekuan politik Suharto. Terjadilah apa yang dinamakan reformasi. Dan
dari peristiwa itu keterlibatan mahasiswa sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Dan
salah satu tokoh mahasiswanya adalah Rama Pratama. Yang sekarang menjadi salah
satu wakil rakyat dari sebuah partai Islam.
Terus terang saja,
goresan-goresan sejarah itu membuat kekaguman saya kepada para mahasiswa makin
meningkat saja. Walaupun dalam perjalanan hidup saya sendiri, tidak kesampaian
untuk menjadi mahasiswa. Artinya tidak bisa kuliah di dalam dinding-dinding
kampus. Kecuali 'kuliah' di jalanan dan pasar saja.
Maka karena kekaguman
itu, ketika saya menjadi pedagang keliling, saya lebih banyak berjualan di
lingkungan kampus. Dengan tujuan agar bisa kecipratan ilmu dari mereka. Tak
hanya itu, suatu saat dulu, saya pernah melanglang ke berbagai kampus besar di
pulau Jawa, hanya ingin melihat keenerjikan dan semangat para mahasiswa. Saya
pernah nongkrong di depan kampus UGM, Bulak Sumur Yogya, Undip Tembalang
Semarang, Unpad Dipati Ukur Bandung, IPB Dermaga Bogor, UI Depok dan lain-lain.
Semua itu karena kekaguman saya terhadap sosok mahasiswa.
Oh mahasiswa!
Sekarang ini pun ketika saya menjadi seorang Mahasiswa disalah satu univeristas terunggul di jawa timur baru saya sadari menjadi seorang mahasiswa memang benar-benar mempunyai tanggung jawab lebih untuk melakukan perubahan dan terus mencari ilmu dan sering saya diskusi lewat email untuk menimba ilmu kepada para teman-teman
mahasiswa lainya, lewat twitter, fb, email maupun lainya. Seperti ada yang dari Unair, UGM, al-Azhar
Mesir, Jepang, Jerman, dan juga mahasiswa Indonesia di Malaysia.
Dan
beberapa waktu lalu saya mendapat telepon dari saudara saya, bahwa ponakkan saya dari kampung baru
saja diterima di sebuah perguruan tinggi negeri. Saya gembira. Dan dalam
bayangan saya mudah-mudahan bisa meniru semangat mereka, para tokoh mahasiswa
yang saya sebut di atas tadi. Walaupun dalam kenyataannya, tak semua mahasiswa
hebat seperti mereka. Tak semuanya punya semangat tinggi seperti mereka. Tapi
minimal mereka bisa menjadi cermin besar bagi mereka yang baru saja diterima di
perguruan tinggi.
Kita mengakui bahwa mahasiwa 'memble' pun banyak.
Kasus-kasus memalukan seperti kumpul kebo, video porno dan perilaku akhlak yang
kurang baik pun banyak melanda para mahasiswa. Atau julukan sarjana nganggur
juga sudah tidak asing lagi di telinga bangsa Indonesia.
Tantangan
mahasiswa sekarang tentu lain dengan jamannya Wahidin, Hatta, Adam Malik, Arief
Rahman Hakim dan Hariman Siregar. Tantangan sekarang lebih tertuju kepada nasib
para mahasiswa itu sendiri. Jangan sampai setelah wisuda mendapat gelar
kesarjanaan yang sesungguhnya lantas ditambahi gelar oleh masyarakat dengan
sebutan 'sarjana pengangguran'.
Kalau bisa, mahasiswa sekarang memang
ditunggu keterlibatannya dalam menyelesaikan masalah bangsa yang makin kompleks
ini. Namun penyelesaian masalah sendiri setelah keluar dari universitas pun
rupanya juga tidak kalah penting dan rumitnya.
Saya masih percaya,
mahasiswa adalah kelompok orang-orang yang berilmu. Islam sangat menjunjung
tinggi orang yang berilmu. Sampai Allah akan meninggikan derajat mereka,
dibanding orang-orang yang tak berilmu.
Lantas orang yang berlmu seperti
apakah yang akan dinaikkan derajatnya oleh Allah? Yaitu mereka yang mencari ilmu
dengan niat lillahi ta'ala. Untuk kemaslahatan bersama. Tak ada niat utuk
mencari kedudukan belaka, posisi bagus di perusahaan atau niat keduniaan
saja.
Tapi, adakah di antara mereka yang masih punya niat bersih seperti
itu? Wallahu a'lam. Sebab kuliah di jaman ini bagi orang kecil seperti saya
membutuhkan biaya yang sangat besar. Sehingga selepas keluar dari perguruan
tinggi, yang ada dalam benak adalah ingin secepatnya mendapat hasil atau gaji
besar, agar uang kuliah cepat kembali. Dan tidak mustahil kita terjebak kepada
hal seperti itu. Mudah-mudahan Allah selalu melindungi kita untuk selalu berniat
baik dan menurut aturan syariat-Nya dalam hal menuntut ilmu. Termasuk menuntut
ilmu di perguruan tinggi. (anda bisa kunjungi blog penulis http:sangtrainermuhmmadhadidi.blogspot.com/ email Adid_padang@yahoo.com)